Sejarah Perkembangan Tekstil Tradisional Indonesia
August 17, 2015
Add Comment
Seiring dengan perkembangan peradaban manusia dengan peningkatan kebutuhan manusia yang senantiasa menjadikan manusia termotivasi secara agressif menjejaki baik sumber-sumber produksi maupun tempat pemasaran hasil karya inovasi setiap insan. Tentunya tiada lain adalah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Maka terjadilah percampuran antara kebutuhan dan keahlian diantara mereka.Barangkali dengan cara ini sehingga tekstil tradisional ikut berkembang.
Tekstil
tradisional Indonesia berkembang dengan kreativitas setempat baik pengaruh dari
suku maupun bangsa lain. Secara geografis, posisi Indonesia terletak pada
persimpangan kebudayaan besar, antara dua benua Asia dan Australia, serta dua
samudra, yaitu Samudra Hindia dan Samudra Pasifik.
Gelombang kontak
perdagangan yang melewati wilayah negara kepulauan Indonesia memberikan
pengaruh dan mengakibatkan akulturasi (percampuran) budaya yang tampak pada
pengembangan karya kerajinan tekstil di Indonesia. Kain-kain tradisional di
wilayah kepulauan Indonesia ini pada awalnya merupakan alat tukar/barter yang
dibawa oleh pedagang pendatang dengan penduduk asli saat membeli hasil bumi dan
rempah-rempah di Indonesia.
Sekitar abad
ke-15 Masehi, pedagang muslim Arab dan India melakukan kontak dagang dengan
mendatangi pulau Jawa dan Sumatra. Pengaruh Islam secara langsung dapat dilihat
pada tekstil Indonesia. Beberapa batik yang dibuat di Jambi dan Palembang di
Sumatra, serta di Utara Jawa, dibuat dengan menggunakan ayat-ayat yang berasal
dari bahasa Arab Al Qur’an.
Di Indonesia juga
terdapat kain sarung kotak-kotak dan polos yang banyak digunakan di Semenanjung
Arab, Timur Laut Afrika, Asia Selatan, Asia Tenggara, dan Kepulauan Pasik.
Pada abad ke-13 pedagang Gujarat memperkenalkan Patola, yaitu kain dengan
teknik tenun ikat ganda dari benang sutra yang merupakan busana Gujarat, Barat
Laut India. Proses pembuatan kain Patola sangat rumit sehingga di India kain
ini digunakan dalam berbagai upacara yang berhubungan dengan kehidupan manusia,
seperti kelahiran, perkawinan dan kematian juga sebagai penolak bala. (Buku Batik Motif Jawa, Yoshimoto)
Tekstil
tradisional Indonesia berkembang dengan kreativitas setempat baik pengaruh dari
suku maupun bangsa lain. Secara geogras, posisi Indonesia terletak pada
persimpangan kebudayaan besar, antara dua benua Asia dan Australia, serta dua
samudra, yaitu Samudra Hindia dan Samudra Pasifik. Sumber: ‘Kain ‘ penerbit
Dian Rakyat
Melalui
perdagangan dengan bangsa Gujarat, keberadaan kain Patola terse-bar luas di
kepulauan Nusantara. Kain Patola umumnya hanya dimiliki oleh kalangan terbatas.
Penduduk setempat yang telah memiliki keterampilan menenun pun mencoba
mereproduksi kain yang sangat berharga tersebut dengan tenun ikat pakan. Di
Maluku, kain ini sangat dihargai dan dikenakan dengan cara dililitkan di
pinggang atau leher. Para penenun di Nusa Tenggara Timur mengembangkan corak
kain tenun yang dipengaruhi oleh corak yang terdapat pada kain Patola, dengan
corak yang berbeda untuk raja, pejabat, dan kepala adat dalam jumlah yang
sangat terbatas dan hanya dikenakan pada upacara–upacara adat. Kain Patola dari
Lio NTT ini ada yang dibuat sepanjang 4 meter yang disebut katipa berfungsi
sebagai penutup jenazah. Sumber: ‘Kain ‘ penerbit Dian Rakyat
Motif Patola
juga dikembangkan menjadi kain Cinde di daerah Jawa Tengah. Kain Cinde tidak
dibuat dengan teknik tenun ikat ganda, tetapi dibuat dengan teknik direct
print, cap atau sablon. Kain ini digunakan sebagai celana dan kain panjang
untuk upacara adat, ikat pinggang untuk pernikahan, serta kemben dan selendang
untuk menari. Kain serupa terdapat pula di Palembang, disebut kain Sembagi.
Sembagi yang berwarna terang digunakan pada upacara mandi pengantin dan hiasan
dinding pada upacara adat. Kain Sembagi yang berwarna
gelap digunakan untuk penutup jenazah.
Motif Patola
memengaruhi motif batik Jlamprang yang berwarna cerah yang berkembang di
Pekalongan, dan motif Nitik yang berkembang di Yogyakarta dan Surakarta yang
berwarna sogan (kecokelatan), indigo (biru), kuning dan putih. Corak Patola
juga berkembang di Pontianak, Gorontalo, dan kain tenun Bentenan di Menado. Sumber:
Traditional Indonesia Textiles by John Gillow
Kain dengan
teknik tenun ikat ganda dibuat di Desa Tenganan Pegeringsingan di Bali. Kain
sakral tersebut dikenal dengan nama kain Gringsing yang artinya bersinar.
Teknik tenun ikat ganda hanya dibuat di tiga daerah di dunia, yaitu di Desa
Tenganan Bali, Indonesia (kain Gringsing), di Kepulauan Okinawa, Jepang (tate-yoko
gasuri) dan Gujarat India (kain Patola). Teknik tenun ikat ganda adalah tenun
yang kedua arah benangnya, baik benang pada lungsin maupun pakan diwarnai
dengan teknik rintang warna untuk membentuk motif tertentu. Sumber: ‘Kain ‘
penerbit Dian Rakyat
Kreativitas
bangsa Indonesia mampu mengembangkan satu jenis kain tenun Patola Gujarat
menjadi beragam tekstil yang sangat indah di seluruh daerah di Indonesia.
Contoh perkembangan kain Patola ini hanya salah satu dari bukti kreativitas
tinggi yang dimiliki oleh bangsa kita. Pada tekstil tradisional, selain untuk
memenuhi kebutuhan sandang, juga memiliki makna simbolis di balik fungsi
utamanya.
Beberapa kain
tradisional Indonesia dibuat untuk memenuhi keinginan penggunanya untuk
menunjukkan status sosial maupun kedudukannya dalam masyarakat melalui simbol- simbol
bentuk ragam hias dan pemilihan warna. Selain itu ada pula kain tradisional
Indonesia yang dikerjakan dengan melantunkan doa dan menghiasinya dengan
penggalan kata maupun kalimat doa sebagai ragam hiasnya. Tujuannya, agar yang mengenakan kain tersebut
diberi kesehatan, keselamatan, dan dilindungi dari marabahaya. Nilai Simbolik
Status sosial, ekonomi, pendidikan, profesi, dll.
Kain
tradisional Indonesia dibuat dengan ketekunan, kecermatan yang teliti dalam
menyusun ragam hias, corak warna maupun maknanya. Akibatnya, kain Indonesia
yang dihasilkan mengundang kekaguman dunia internasional karena kandungan nilai
estetikanya yang tinggi.Dengan demikian maka dapatlah dipastikan bahwa texstil tradisional indonesia berkembang melalui ercampuran budaya setempat dan dari luar.
0 Response to "Sejarah Perkembangan Tekstil Tradisional Indonesia"
Post a Comment